Suami Baru Istriku


BAGAIMANA cara istrimu memanggilmu? Njangkar dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara memanggil njangkar sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?

Rempeyek benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”

Bengkel akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih besar dari gaji kita. Olala…”

Namanya Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya. Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan ‘Mas Peyek’ sebagai panggilan sehari-hari. Baca lebih lanjut

Bumbung Kosong


(Cerpen ini dimuat Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)

GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!

Rindang bajingan?
Oh itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya, malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari mengilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa sebelah mengapung di sungai dekat kuburan. Baca lebih lanjut

G e r i m i s


SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan meggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.

Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.

Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya. Baca lebih lanjut

Tiang Dapur


SEPERTI engkau yang sesekali masih berhubungan dengan sahabat lamamu, aku pun begitu. Dan seperti engkau tahu, beberapa kali aku menceritakan kisah para sahabat lamaku itu. Tetapi kalau kali ini aku menceritakan lagi tentang Rindang, sepertiny a kok kurang tepat. Pertama, aku tidak ingin dikira sebagai orang yang hanya punya satu sahabat dekat. Kedua, aku takut engkau bosan terlalu sering mendengar kisah tentang Rindang.

Mempunyai beberapa teman dengan nama depan sama, aku yakin engkau pun mempunyainya. Namun selalu ada pembeda untuk memanggilnya.

Ada dua kawan dekatku dengan nama sama; Purwadi. Dulu, di sekolah dasar, walau masing-masing di rumah mempunyai panggilan yang sama; Pur, tapi demi agar tidak membingungkan, kami memanggil Purwa untuk yang ganteng, dan Wadi untuk yang berkulit hitam berhidung pesek. Itu panggilan resmi di sekolah. Ketika dolan (walau aku dan Wadi tidak mempunyai kambing peliharaan, suka saja kami mengikuti Purwa ke sawah menggembala ternaknya), khusus untuk Wadi, kami –teman dekatnya—membubuhkan nama Jago di belakang namanya.

Jago itu, kuberi tahu engkau, adalah wadanan, nama julukan bagi ayahnya. Syahdan, nama itu disematkan oleh orang kampung karena ukuran tubuh ayah Wadi yang agak cebol.

Suatu malam, perusahaan jamu cap Jago menggelar pemutaran film gratis di lapangan desa. Seperti biasa, sebelum film diputar, ada atraksi dari beberapa orang bertubuh mungil dengan panggung sebuah bus mini yang disulap menjadi pentas dengan hanya membuka bagian samping bodinya. Di pentas itu, para orang mungil itu memainkan sebuah drama. Dengan semua pemeran bertinggi tubuh sedengkul orang normal, pentas itu menjadi tontonan lucu. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah mentertawakan makhluk ciptaan Tuhan itu termasuk bukan perbuatan yang pantas. Baca lebih lanjut

Anak Bidadari


SEPERTI saran seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di khayangan.

Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang sudah mendiang.

Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu, ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Baca lebih lanjut

Hantu Pengetuk Pintu


TASLIM pulang saat Emak akan menutup daun jendela. Hari sudah selepas maghrib ketika gerimis itu mengantar anak bungsu Emak kembali ke rumah setelah pergi selama beberapa bulan. Begitu selalu. Sekalipun Emak tidak pernah tahu apa pekerjaan anaknya itu di kota. Yang jelas, setiap pulang, ia akan diberi beberapa ratus ribu rupiah untuk keperluan sehari-hari. Tiga atau empat hari, atau paling lama seminggu di rumah, Taslim akan pergi lagi.

Daun sirih itu emak lipat sedemikian rupa setelah di dalamnya dibubuhi sedikit kapur dan gambir ditambah segigit pinang. Dikunyahnya benda itu sambil menunggu di kursi tua di ruang tengah. Sebuah wadah berisi abu dapur diletakkan di dekat kaki meja. Wadah itu juga biasa dibawa Emak ke kamarnya. Ke wadah itulah emak akan membuang dubang, cairan warna merah dari kunyahan sirih-pinang. Baca lebih lanjut

Pesona Lorna


PAPAN skor tetap menunjuk angka 2-1. Tetapi jarum jam yang menyala merah jelas terus berjalan. Dan sekarang sudah menit ke 41 di babak ke dua. Tertinggal satu gol di pertandingan krusial yang sarat gengsi, membuat Rindang dan kawan-kawan tampil edan. Waktu kurang empat menit, ditambah additional time yang cuma 3 menit, itu adalah sudah merupakan tekanan tersendiri. Sementara, tim lawan yang adalah juga juara bertahan bermain secara memain-mainkan waktu. Gila. Baca lebih lanjut

Ida Ayu Komang


YANG montok itu namanya Ketut,” sambil mengunyah pisang goreng Aksan berkata.

 

Pagi yang biasa, sebenarnya. Seperti pagi-pagi yang kemarin. Tetapi sejak tiga hari yang lalu, setibanya beberapa perempuan Bali, suasana pagi menjadi agak tidak biasa. Tidak hanya disini, dijalan yang biasanya para pekarja proyek mangkal sejenak sebelum naik ke atas. Melalui satu-satunya lift yang boleh dipakai pekerja.

 

Maka, aneka aroma kuli batu itu mau tak mau masuk juga ke hidung. Tukang cat yang tahan banting untuk tidak ganti baju kerja dalam beberapa hari. Tetapi ada untungnya memang. Ketika rombongan mereka mendekat pintu lift, sebagian yang telah antre duluan pilih minggir saja lagi. Tidak kuat menahan aromanya.

 

Lokasi depan lift yang selalu gaduh, makin gaduh oleh para jegek Bali itu. Yang sengaja didatangkan oleh kontraktor untuk mengerjakan ornamen dinding ruang spa dan jacuzi di proyek hotel ini. Ini Surabaya, dan beda sekali dengan di Bali yang sudah hal lumrah mendapati wanita tangguh yang bekerja keras di proyek-proyek, sementara para suami memikul bambu panjang tempat beberapa ayam dalam beberapa kurungan menggantung dibawa ke tempat bersabung. Baca lebih lanjut

T i k u s


HARI masih jam sepuluh malam. Demi melihat seekor tikus gendut dengan punggung botak berlari di atas dapur yang memang tidak berplafon, Parman berlari ke luar. Meraih kentongan yang digantungnya di dekat tiang teras rumah bambunya. Dipukulnya kentongan itu tiga kali ketukan secara berulang-ulang. Itu tanda yang disepakati ketika membahas tikus jadi-jadian yang hampir lima bulan ini meresahkan seluruh warga desa. Tikus jadi-jadian itu, kemudian orang menamainya tikus ngepet, tidak pandang bulu ketika mencuri. Dari orang kaya sampai orang semiskin Parman pun diembat uang tabungannya.

Malam yang gerimis membawa suara kentongan yang ditabuh Parman itu menjalar ke seantero desa. Kesepakatannya, begitu orang mendengar suara kentongan, orang harus mendatangi asal suara itu untuk beramai-ramai menangkap si tikus ngepet. Tetapi yang datang ke telinga Parman kemudian adalah suara lain yang senada dengan pukulannya tadi. Makin lama makin banyak saja yang memukul kentongan. Sampai semua. Sampai tidak ada yang mendatangi arah suara. Seperti Parman, orang kemudian sibuk mengejar tikus di rumah masing-masing. Sampai tak sempat tidur, sekalipun si tikus seperti setan, menghilang tanpa jejak. Baca lebih lanjut