Bumbung Kosong


(Cerpen ini dimuat Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)

GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!

Rindang bajingan?
Oh itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya, malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari mengilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa sebelah mengapung di sungai dekat kuburan. Baca lebih lanjut